Malang, 12 November 2023. Puluhan ribu korban jiwa telah melayang dalam perang yang terjadi antara Palestina dan Israel. Menurut pandangan salah satu mahasiswa Ilmu Pemerintahan UMM yakni Fakhri Rasyid, peperangan yang terjadi dewasa ini telah melibatkan aktor negara (state actors) dan aktor bukan negara (non-state actors), yang mana kedua aktor ini secara tidak langsung melanggengkan kondisi negara agar tetap memanas untuk mendapatkan keuntungannya masing-masing.
“Kita bisa mengklasifikasikan aktor-aktor tersebut kedalam kubu geopolitik; Blok Barat dan Blok Timur. Kubu Blok Barat atau NATO digawangi oleh Amerika, Prancis, Inggris beserta Negara Eropa lainnya. Sedangkan, Blok Timur diisi oleh negara-negara seperti, Rusia, China, Korea Utara, dan Turki. Peta kekuatan dunia yang cenderung terpecah menjadi dua bagian ini membuat aktor negara harus memilih sikap untuk mendukung Palestina atau Israel,” jelas Fakhri.
Fakhri menjelaskan bahwasannya, pada kubu Israel sendiri state actor yang berpartisipasi adalah Amerika, Prancis dan Inggris. Kondisi perekonomian blok ini berperan sebagai supplier senjata ke Israel, yang mana negara-negara persekutuan NATO tentunya akan mendapatkan keuntungan dengan penjualan senjata yang diketuai oleh Amerika sebagai produsen senjata terbesar di dunia.
“Akan tetapi diluar daripada keuntungan penjualan senjata perang yang positif bagi negara persekutuan NATO, dampak negatif dari adanya perang Palestina dan Israel ialah pada potensi terganggunya pasokan minyak bumi untuk negara-negara Eropa. Dikarenakan Iran sebagai negara penghasil minyak bumi cenderung berpihak kepada non-state actors yaitu HAMAS,” ungkapnya.
Menurut penjelasan Fakhri, dukungan untuk Palestina sendiri berasal dari negara-negara yang berseberangan dengan NATO. Persekutuan ini diketuai oleh negara besar seperti Rusia dan China, apabila ditinjau secara ekonomi, dampak yang diterima oleh negara-negara tersebut tidak terlihat kontras seperti negara-negara NATO yang cenderung “memelihara” konflik di Timur Tengah untuk mendapatkan keuntungan pada bidang ekonomi. Sedangkan, sikap dari negara Indonesia sendiri tentu mengutuk keras agresi yang dilakukan oleh Israel pada Palestina.
“Disisi lain terdapat non-state actors, yakni HAMAS sebagai gerakan militan non pemerintahan yang memiliki tujuan untuk mengalahkan Israel. Peran HAMAS yang sangat vital dan menjadi kekuatan utama Bangsa Palestina ini menjadi hal yang menarik untuk disorot dikarenakan terdapat perspektif beragam mengenai organisasi HAMAS. NATO menganggap HAMAS merupakan gerakan terorisme yang perlu diberantas, akan tetapi disisi lain HAMAS dianggap pahlawan oleh masyarakat Palestina yang memiliki persamaan latar belakang sebagai korban kekejaman Israel,”
Fakhri menyimpulkan bahwa konflik merupakan hal yang seharusnya dapat dihindari, hal ini mengacu pada preambule Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi “penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanuasiaan dan peri keadilan”. Masyarakat yang bangsanya tertindas sudah semestinya melakukan tindakan membela diri. Pernyataan perang dari suatu negara seharusnya dapat dijadikan opsi terakhir untuk mencapai kesepakatan. Konflik Palestina dan Israel saat ini tidak hanya menjadi konflik bercorak agama, akan tetapi kaya akan politik dan bisnis dibelakangnya.
“Dari ribuan jiwa korban korban yang berjatuhan, namun hanya segelintir orang merayakan keuntungan, dan menurut saya ini tidak sepadan. Jika konfrontasi dan agresi tetap dijalankan dan memakan korban, pertanyaannya siapa yang untung dan siapa yang buntung? Semoga dunia baik baik saja,” pungkasnya. (van/roz)