Rezim Soeharto yang dimana melahirkan sistem pemerintahan yang otoritarianisme, yang kemudian mencederai makna dari demokrasi Indonesia. Yang setidaknya mewariskan beberapa dampak buruk kepada Indonesia saat ini. Lunturnya makna dan visi misi dari demokrasi itu sendiri, memberikan fenomena-fenomena baru di waktu sekarang ini. Sebut saja tingginya kasus korupsi, kemiskinan, kriminalitas, menunjukkan bahwasanya demokrasi di Indonesia masih belum terimplementasikan dengan baik. Lantas sejauh apa demokrasi di Indonesia itu terealisasikan? Sejauh mana pemerintah menjawantahkan tujuan demokrasi Indonesia yang salah satunya adalah memberikan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia, yang dimana realitas menunjukkan tingkat kemiskinan di Indonesia masih saja tinggi. Maka oleh adanya fenomena-fenomena yang muncul tersebut yang kemudian berusaha di kupas lebih dalam, lebih detail dan spesifik pastinya. Di dalam kegiatan rutinan Pencita Reset dan Menulis (PERS), IP UMM Jumat (15/11/2019). Diskusi ini mengambil tema “Fenomena Politik Kontemporer”. Yang difasilitasi oleh Atta Nursasi yakni seorang (Pegiat anti korupsi MCW). Diskusi rutin ini berusaha mengkaji kasus-kasu atau fenomena-fenomena yang terjadi pada saat ini yang diperkirakaan sebagai salah satu warisan dari rezimnya Soeharto.
Menurut Atta, dalam pengimplementasiannya, demokrasi di Indonesia masih jauh dari makna demokrasi yang sesungguhnya. Yang kemudian melahirkan politik kartel dan kemudian memunculkan adanya koalisi yang berusaha untuk menghilangkan oposisi dan memperkuat proposisi. fakta bahwa koalisi tidak terbentuk dari adanya kesamaan visi misi adalah sebuah kebenaran. Pada realitasnya koalisi hadir dari adanya kepentingan politik di dalamnya yang artinya kesamaan visi dan misi untuk diwujudkan bersama tidak ada. Visi dan misi seakan dijadikan formalitas yang pada kenyataannya visi dan misi tersebut bisa dikatakan hampir tidak ada. kedewasaan politik di Indonesia sendiri masih dapat dikatakan belum kuat. Terlihat dari banyaknya kasus-kasus korupsi yang masih saja terjadi di Indonesia. Yang dimana actor di di dalamnya bukanlah orang-orang yang dapat dikatakan tidak memiliki intelektualitas yang mempuni. Yang artinya actor yang memainkan korupsi di negara ini dilakukan oleh kaum-kaum yang terdidik. 40-60 % negara ini dikuasai oleh pembisnis atau biasa kita sebut privat sector. Namun disayangkan sekali privat sector disini tidak bisa bekerja sama dengan pemerintah dengan atas nama kesejahteraan rakyatnya. Melainkan pemerintah dengan privat sector terlihat seakan hanya bekerja sama atas kepentingan mereka sendiri. Dengan demikian dimana makna dan implementasi peran negara yang katanya negara ada untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya? fakta bahwa masih banyak rakyat di negara ini yang masih tertidas dan terkurung dalam garis kemiskinan adalah sebuah kebenaran, maka pertanyaannya kesejahteraan yang seperti apa yang dimaksud disana? kesejahteraan terkhusus untuk kaum elitkah atau untuk siapa? dikalau dikatakan untuk rakyat Indonesia, faktanya rakyat tidak merasakan hal yang demikian, dengan demikian maka peran negara yang bertindak untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya sama dengan nol sama dengan tidak ada alias ghaib ada tapi tidak jelas akan wujud dan keberadaanya.
Atta juga menyampaikan bahwasanya secara frakmatis para aktivis malah seakan menjadi bagian dari predator-predator politik. Yang dimana ikut berkonsolidasi untuk meralisasikan kepentingan pribadi dan kelompoknya sendiri tanpa memperdulikan kepentingan umum. Dengan demikian jelas terlihat bagaimana negara ada hanya untuk mereka yang memiliki kekuasaan sedangkan rakyat seakan hanya dijadikan sebagai objek penindasan.