Opini

Kamis, 01 Agustus 2013 12:58 WIB   Program Studi Ilmu Pemerintahan

 

Oleh: Dr.Tri Sulistyningsih, M.Si.
(Pakar Kebijakan Tata Ruang Kota)

MODEL KEBIJAKAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN BERBASIS COLABORATION PARTNERSHIP di KOTA MALANG

Perumahan dan permukiman merupakan persoalan utama yang perlu diperhatikan di era modernisasi seperti yang sedang berlangsung saat ini. Kebijakan strategis adalah hal utama yang harus dipikirkan dan diputuskan oleh stakeholder yang berkepentingan. Hasil penelitian penulis tahun 2011/2012 yang berjudul “Model Kebijakan Program Pembangunan Perumahan dan Permukiman Berbasis  Colaboration Partnership sebagai Upaya Mewujudkan  Feasibility Life bagi Masyarakat Berpengahsilan Rendah (MBR) di Kota Malang” menemukan: pertama, Adanya kesadaran hukum pemerintah pusat dan daerah untuk bertanggungjawab terhadap warga negara yang berpenghasilan rendah dan belum memiliki rumah dan pemukiman, yakni ditunjukkan dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Peraturan Menteri Negara Perumahan Raykat Nomor 14 tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah, komitmen pemerintah Kota Malang untuk mempermudah ijin developer mengelolah Perumahan dan Permukiman bagi MBR di Kota Malang, dan janji Peni Suprapto, Wali Kota Malang, bahwa rumah warga yang tidak layak huni akan diperbaiki.

 

                   Kedua, Meskipun terdapat kesadaran hukum seperti yang dijelaskan tersebut, disisilain penelitian ini menemukan hal yang berbeda, yakni pembangunan perumahan dan permukiman di Kota Malang tidak mencerminkan adanya keseriusan Pemerintah Kota Malang untuk membentuk dan menjalankan kebijakan perumahan dan permukiman yang berpihak kepada masyarakat berpenghasilan rendah, hal ini ditunjukkan oleh: (a) tidak adanya kebijakan pemerintah Kota Malang yang mengatur secara teknis pelaksanaan program perumahan dan permukiman bagi MBR, (b) sehingga yang dapat menikmati rumah perumahan dan permukiman yang dibangun hanya PNS yang bergolongan IIa dan IId, (c) MBR yang membutuhkan sulit mengakses rumah perumahan yang dibangun dikarenakan kriteria MBR yang berhak mendapatkan rumah sangat tinggi, misalnya harus memiliki dan mengusai tanah (padahal banyak MBR yang tidak memiliki tanah).

                   Ketiga, Adanya inkonsistensi target pemerintah Kota Malang dalam membangun Kota Malang bebas dari perumahan dan permukiman kumuh. Secara hukum, untuk mewujudkan hal tersebut, Pemerintah Kota Malang mengacu pada Perda Kota Malang Nomor 01 Tahun 2004 tentang penyelenggaraan bangunan. Pada praktiknya, pemerintah Kota Malang dinilai menjalankan kebijakan pemeliharan perumahan dan permukiman kumuh, yakni diberikan bantuan perbaikan jalan dan dibangunkan kamar mandi bagi masyarakat yang bermukim di pinggir Kali Brantas di Kota Malang.

                   Keempat, Developer sebagai mitra Pemerintah Kota Malang lebih berorientasi pada keuntungan bukan kebutuhan masyarakat. Perumahan yang dibangun menggunakan pendekatan ekonomi. Hal ini berdampak pada pembangunan perumahan pada pusat kota sehingga terjadi kepadatan penduduk, kemacetan, dan terjadinya banjir diberbagai pusat kota.

                   Kelima, Pemerintah Kota Malang belum memiliki peraturan yang mengatur peran developer dalam pembangunan Perumahan dan Permukiman bagi MBR. Peran developer mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 7 Undang-Undang tersebut mengatur kewajiban developer dalam mengelola segala bidang pembangunan, termasuk pembangunan perumahan dan permukiman. Pada pasal 7 tersebut, ada dua poin penting yang perlu diperhatikan, yakni: developer berkewajiban memiliki itikad baik dalam berusaha, dan memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Mengacu pada kewajiban tersebut, mestinya developer dalam mengelolah pembangunan permukiman dan perumahan harus berasaskan pemerataan, keadilan, dan keberlanjutan, bukan orientasi keuntungan semata. Namun, karena Pemerintah Kota Malang tidak memiliki aturan yang mengikat, maka tindakan developer sulit dikontrol dan diawasi.

                   Keenam, Pemerintah Kota Malang sebagai pemerintah daerah yang memiliki hak dan kewenangan otonom dalam mengatur sumber daya yang dimiliki, termasuk dalam merencanakan Program Pembangunan Perumahan dan Permukiman Daerah (RP4D). Mengingat RP4D adalah program baru diterapkan tahun 2011, maka dibuthkan integrasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam merencanakan Program Perumahan dan Permukiman. Sehingga Badan Perencanaan Pembangunan Kota (BAPPEKO) dalam merencanakan program tersebut selalu berpacu pada kebijakan pusat.

                   Ketujuh, Pembangunan Perumahan dan Permukiman di Kota Malang dipusatkan dikawasan timur Kota Malang, yakni di Kecamatan Kedungkandang dan Kelurahan Buring. Pemerintah Kota Malang bekerjasama dengan developer PT Bulan Terang Utama membangun perumahan di tanah seluas 200 Hektar dengan tipe rumah sederhana, menengah, dan mewah. Tahap pertama dibangun 1000 rumah sederhana dengan harga dibawah Rp. 60.000.000 per rumah. Pemerintah Kota Malang merencanakan: jika rumah sederhana diminati masyarakat, maka akan dibangun rumah dengan tipe menengah hingga yang mewah. Meskipun wacana pembangunan seperti demikian, Perumahan dan Permukiman di Kota Malang masih sangat sulit untuk didapatkan oleh masyarakat umum. Rumah yang dibangun baru hanya dinikmati oleh PNS golongan II.

                   Kedelapan, Rencana sebaran perumahan di Kota Malang mengikuti kebutuhan masyarakat dan kepadatan penduduk menjadi pertimbangan utama. Perubahan dan Permukiman akan diprioritaskan pada Wilayah yang masih rendah kepadatan penduduk, misalnya Kecamatan Kedungkandang dan Kelurahan Buring. Selain kepadatan penduduk, yang menjadi pertimbangan lain adalah, yakni diluar wilayah lindung, dan harus wilayah strategis pengembangan perekonomian.

                   Beberapa poin di atas merupakan kesimpulan dari bentuk, upaya, dan masalah Pemerintah Kota Malang dalam mengelolah Program Pembangunan Perumahan dan Permukiman. Berikut ini diuraikan reaksi masyarakat sipil terhadap Program Pembangunan Perumahan dan Permukiman yang dijalankan Pemerintah Kota Malang, yakni sebagai berikut: (1) Masyarakat Sipil Kota Malang, yang diwakili Malang Corruption Watch (MCW) menilai Pembangunan Perumahan dan Permukiman di Kota Malang berpendekatan ekonomi semata, yakni mencari keuntungan.Pemerintah dan developer tidak memperhatikan lingkungan sosial, budaya, dan lingkungan alam. Pemerintah dan developer membangun perumahan dipusat kota, sehingga muncul berbagai persoalan lain, yakni kemacetan, banjir, dan perekonomian yang tidak merata, (2) MCW menilai pembangunan perumahan di Kota Malang bernuansa kapitalistik, diskriminatif, tidak bekerlanjutan, dan cenderung tidak merata. Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) sulit diidentifikasi disebabkan tidak ada standarisasi masyarakat sebagai MBR, (3) Masyarakat Sipil lain, yakni LSM Tipikor Malang, menilai, banyak perumahan di Kota Malang yang tidak termanfaatkan dengan baik, banyak yang tidak ditempati. Hal ini disebabkan tingginya kriteria yang harus dipenuhi masyarakat. Masyarakat harus memiliki atau mengusai tanah. Padahal, banyak masyarat yang tidak memiliki tanah.

                   Dari hasil temuan di atas, mengharuskan adanya formulasi atau model kebijakan yang tepat untuk diputuskan dan diimplementasikan dalam mewujudkan  Pembangunan Perumahan dan Permukiman (PPP) bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di Kota Malang. Sebagaimana hasil temuan, PPP di Kota Malang belum dapat diakses oleh MBR, cenderung mengabaikan keadilan, pemerataan, dan tidak mengedepankan keberlanjutan. Masalah tersebut muncul disebabkan tidak adanya komunikasi yang baik antar stakeholder di Kota Malang, utamanya Pemerintah Kota Malang sebagai pengambil kebijakan, developer sebagai pengelola PPP, dan masyarakat sebagai konsumen PPP. Oleh karena itu, model kebijakan yang perlu dikembangkan dan implementasikan adalah Colaboration Partnership antar stakeholders, yakni Pemerintah Kota Malang, developer, dan masyarakat. Tiga stakeholder tersebut memiliki peran yang berbeda, namun dalam hal pengambilan, pelaksanaan, pengelolaan, dan pengawasan perlu dikedepankan kerjasama yang baik dengan mengedepankan prinsip partisipasi, transparansi, keadilan, pemerataan, dan keberlanjuta.

 

                Model kebijakan yang dijelaskan di atas menjadi rekomendasi utama untuk optimalisasi kebijakan Program Pembangunan Perumahan dan Permukiman Kota Malang. Model kebijakan yang diusulkan tersebut lahir dari berbagai permasalah yang ditemukan. Oleh karena itu, para stakeholder perlu melakukan colaboration partnership dalam menjalankan perannya masing-masing, yakni: (1) Pemerintah Kota Malang perlu membentuk aturan hukum yang mengatur Program Pembangunan Perumahan dan Permukiman, terutama tentang kriteria MBR, dan kriteria developer sebagai pengelola. Peratura tersebut mencerminkan pembangunan yang berkeadilan, pemerataan, partisipatif, dan keberlanjutan, (2) Developer sebagai pengelola Program Pembangunan Perumahan dan Permukiman perlu menjunjungtinggi nilai-nilai keadilan, persamaan, dan keberlanjutan, memiliki itikad baik dalam berusaha, dan jujur, (3) Masyarakat sipil yang mewakili MBR dapat ikut serta dalam pengambilan kebijakan Program Pembangunan Perumahan dan Permukiman, melakukan pengawasan terhadap developer, dan membantu pemerintah dan developer dalam menjalankan program pembangunan perumahan dan permukiman sehingga dapat saling merasakan manfaat dan menguntungkan. 

Shared: