Asep Nurjaman |
Mengingat besarnya peranan figur populer dalam meningkatkan perolehan suara partai, maka pada pemilu 2009, banyak partai yang juga mengandalkan figur populer untuk mendongkrak suara dalam pemilu. Banyak figur-figur terkenal baik dari kalangan akademisi, artis, olah ragawan direkrut oleh partai menjadi anggota dan bahkan menjadi caleg dari partai bersangkutan. Di PDIP ada Diyah Pitaloka, dari kalangan artis; Miing tokoh komedi. Di Partai Demokrat ada Komar yang berasal dari tokoh komedian, Aji Massa’id dan Angelia Sondah dari kalangan artis. Di Golkar ada Indra J. Piliang dari akademisi; Icuk Sugiarto dari kalangan olah ragawan; Tantowi Yahya dari kalangan presenter. Di PAN ada Wanda Hamidah, Primus, dan Ikang Fauji dari kalangan artis; Eko Patrio, Mandra dari kalangan komedian dan lain lain. Bahkan PAN karena banyaknya caleg dari kalangan artis, maka kepanjangan PAN banyak di plesetkan menjadi “partai artis nasional”.
Pola rekrutmen yang terjadi pada awal pemilu yang berlangsung tahun 1999 menunjukan adanya peran dominan dari pimpinan teras partai, baik di pusat atau pun di daerah, dalam menentukan calon anggota legislatif. Dalam pemilu dengan sistem proporsional daftar tertutup (proportional closed list), saham suara dari pemilu mutlak menjadi hak prerogratif partai kepada siapa suara pemilih itu akan diberikan. Kondisi ini melahirkan adanya penyakit kekuasaan berupa oligarkisme di tubuh partai, dimana pengambilan keputusan terpusat hanya pada segelintir elit partai dan akan berusaha terus menerus untuk dipertahankannya. Dalam kondisi seperti itu banyak dari kader partai yang menunjukan kesetiaannya, khususnya pada pimpinan partai, agar bisa menjadi nominasi dalam pencalegan atau pun hanya sekedar menjadi pengurus partai.
Lebih jauh, karena berharganya kekuasaan struktural partai, maka perebutan kekuasaan di tubuh partai sangat tinggi, kalau tidak dikatakan kasar. Kasus perebuatan kuasaan di tubuh partai, hampir terjadi pada semua kepengurusan partai di Malang Raya. Kasus yang paling menonjol adalah perebutan pimpinan partai di tubuh PAN Kota Malang yang melahirkan dualisme kepemimpimpinan yaitu antara kepemimpinan Darul Komar dan Kepemimpinan Prof, Kaprawi, SH., dan tidak bisa secara cepat diselesaikan walaupun sudah ada campur tangan dari pengurus pusat PAN.
Dalam penentuan calon anggota legislatif, unsur kedekatan dengan pimpinan partai lebih dominan. Lebih jauh, bagi kader yang ingin dicalonkan akan selalu memberikan konstribusi sejumlah uang kepada partai dengan alasan untuk pemenangan pemilu. Dapil-dapil yang menjadi lumbung suara partai, menjadi perebutan dan sekaligus menjadi dapil dengan harga yang besar untuk menjadi caleg.
Memasuki pemilu 2009, sistem pemilu berubah lagi menjadi sistem proporsional daftar terbuka (proportional open list) murni (tanpa BPP). Sistem ini telah mendorong terjadinya perubahan strategi partai dalam memenangkan pemilu. Partai tidak lagi dominan dalam baik dalam penentuan caleg, maupun dalam pemenangan pemilu. Sistem kompetisi terbuka antar caleg di dalam internal partai, mendorong gairah caleg untuk berjuang dengan segala cara agar dapat memperoleh suara tertinggi di dalam partai supaya lolos menjadi anggota legislatif. Kondisi ini mendorong persaingan keras di antara para caleg internal partai, tidak lagi dengan calon di luar partainya.
Dengan sistem baru, partai tidak hanya memasangkan caleg-caleg yang punya kualifikasi kepopuleran, jaringan, dan sumber daya keuangan dari internal partai. Akan tetapi partai berusaha mencari tokoh-tokoh populer yang punya tingkat akseptabilitas dan electabilitas tinggi dari eksternal partai untuk di pasang dalam nomor urut caleg. Keadaan ini telah melahirkan perilaku pragmatis dari kader partai, maupun partai dalam memperebutkan kekuasaan. Para kader yang kecewa dengan partainya, mereka dengan enteng masuk ke partai lain tanpa ada beban historis, sosiologis, maupun spikologis.
Beberapa Pengurus partai politik ditemukan bahwa pada pemilu 2009, sebagian partai politik sudah secara terbuka membuka ruang bagi calon dari luar kader untuk menjadi caleg dari partai mereka. Dengan demikian, sistem pemilu proporsional daftar terbuka secara murni telah merubah peta politik di Malang Raya secara keseluruhan. Banyak caleg yang direkrut oleh partai yang bukan dari kadernya dengan pertimbangan caleg tersebut akan menguntung partai bersangkutan.
Beberapa pertimbangan kenapa seseorang dapat direkrut, walaupun bukan kader partai, yaitu pertama karena punya modal sosial; dan kedua karena punya modal ekonomi. Modal sosial terkait dengan banyaknya pengikut yang seseorang miliki karena posisinya, baik sebagai tokoh agama, tokoh politik, maupun tokoh masyarakat lainnya. Modal ekonomi terkait dengan kekayaan yang dia miliki, biasanya mereka adalah seorang pengusaha atau orang yang punya kekayaan cukup untuk mendanai kampanye pemenangan pemilu.
Dengan demikian, perubahan dari memilih partai menjadi memilih calon pada pemilu legislatif 2009 sedikit banyak telah menegasikan pendekatan ideologis. Para kader partai bisa pindah ke partai manapun yang dia suka dan bisa menerimanya menjadi caleg, tanpa hirau dengan identitas ideologis dan historis. Begitupun partai bisa menerima setiap orang yang akan menjadi caleg dari partai yang bersangkutan senyampang dianggap punya potensi, baik ekonomi maupun politik, tidak menghiraukan latar belakang caleg yang akan diterima. Pada tingkatan pemilih, pada pemilu 2009 dasar pertimbangan latar belakang atau ideologi partai tidak lagi menonjol, justru yang dominan adalah, apakah calon itu mempunyai kedekatan secara sosial atau pribadi!, dan apakan calon itu bisa memberikan konstribusi secara ekonomi kepada mereka!. Pola pilihan politik kepada partai pada pemilu 2009 sudah lebih cair dibanding dengan pemilu 1999 dan 2004. Kondisi tersebut telah menyebabkan konstruksi pendekatan ideologi dalam membangun pola hubungan partai dan pemilih semakin pragmatis.