Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang harus dimiliki oleh setiap manusia dimana manusia mendapat satu legitimasi keamanan dan kebebasan untuk berekspresi. Menurut pasal 1 angka 1 UU no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang dimaksud Hak Asasi Manusia itu adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Namun hal itu tidak dirasakan oleh rakyat Aceh, dimana pelanggaran berat HAM merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sejarah kelam rakyat Aceh yang hidup dalam suasana konflik pra kesepakatan Helsinki ditanda tangani. Penderitaan korban banyak tercatat dalam investigasi yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah maupun organisasi non pemerintah sejauh ini belum melangkah jauh untuk menjawab problem keadilan bagi korban kekerasan konflik Aceh.
Sekalipun secara nasional, Indonesia telah memiliki Undang Undang No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM, namun pada prakteknya UU ini belum aplikatif untuk menjawab problem pelanggaran berat HAM yang terjadi dimasa konflik Aceh berlangsung, salah satunya adalah problem pada masa diberlakukan operasi Jaring Merah ataupun yang lebih dikenal dengan Daerah Operasi Militer (DOM 1989-1998) dan juga problem pada masa pasca DOM. Problem-problem tersebut merupakan bukti bahwa kejahatan perang yang merjadi penindasan terhadap rakyat Aceh dimana masa itu tidak sedikit terjadi penganiayaan, penghilangan paksa, pemerkosaan, dan juga pembunuhan terhadap warga-warga yang tidak bersalah, hal itu merupakan salah satu potret gagalnya penyelenggaraan HAM di Negara Indonesia. Pelanggaran-pelanggaran HAM menyimpan cerita pahit yang tak pernah kunjung usai ditangani oleh aparat keamanan mulai dari masa orde baru-hingga masa reformasi seperti saat ini. Idealitas HAM yang secara kodrati melekat pada diri masyarakat Aceh menjadi pudar dan tidak jelas arah.
Jejak-jejak kejahatan perang tersebut merupakan bukti-bukti bahwa Aceh pernah mengalami sejarah yang kelam. Masyarakat Aceh tetap berharap ada satu titik kejelasan dari problematika kasus-kasus masa konflik tersebut dan HAM menjadi salah satu kebutuhan yang harus dirasakan masyarakat Aceh dengan mewujudkan keadilan dan menggali kebenaran atas apa yang terjadi selama konflik yang berkepanjangan mulai dimasa DOM hingga Masa Perdamaian.
Rentetan Pelanggaran HAM di Aceh
Dalam pengusutan pelanggaran HAM tersebut, sejumlah penyelidik resmi dan pengumpulan fakta atas pelangaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Aceh telah melakukan pengusutan sejak bulan Juli 1998. Setiap penyelidikan ini mengumpulkan bukti-bukti dari ratusan kasus pelanggaran yang dilakukan sejak tahun 1989 dan mengindikasikan adanya keterlibatan aparat keamanan dalam pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi. Dalam seminar yang bertema “Mengungkap Kebenaran Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Aceh” di Universitas Malikussaleh Lhokseumawe pada 2012 ada puluhan kali tim turun untuk mencari fakta dalam penyelesaian pelanggaran HAM, diantaranya adalah:
Pertama, pada Juli 1998: Tim Gabungan Pencari Fakta DPR dibentuk. Pada bulan Oktober 1998 tim ini mengumpulkan temuan sementaranya lebih dari 6.837 kasus pelanggaran HAM sejak 1989-1998. Kedua, Agustus 1998: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan penyelidikan di Aceh. Laporan pendahuluannya menyebutkan telah menemukan bukti-bukti adanya, paling tidak 781 orang meninggal, 163 orang hilang, 368 kasus penyiksaan, dan 102 kasus pemerkosaan yang terjadi antara tahun 1989 dan 1998. Ketiga, Juli 1999: Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh (KIPTKA) dibentuk melalui sebuah instruksi presiden (masa pemerintahan Presiden Habibie). Dilaporkan bahwa komisi ini telah mengumpulkan keterangan mengenai 7000 kasus pelanggaran HAM di Aceh yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir, meliputi diantaranya berupa pembunuhan diluar jalur hukum, penyiksaan, penghilangan paksa, penahanan sewenag-wenang, pemerkosaan dan tindak kekerasan seksual. Komisi tersebut merekomendasikan agar lima kasus segera diajukan ke pengadilan.Terakhir, Nopember 1999: kejaksaan Agung melakukan penyelidikan terhadap lima kasus yang direkomendasikan untuk diadili oleh KIPTKA. Lima kasus tersebut masing-masing adalah kasus pemerkosaan di Pidie yang terjadi pada bulan Agustus 1996; kasus penyiksaan dan penghilangan paksa yang terjadi antara tahun 1997 dan 1998 disebuah tempat yang dikenal sebagai Rumoh Geudong di Pidie; pembunuhan diluar jalur hukum terhadap tujuh warga sipil di Idi Cut, Aceh Timur pada bulan Pebruari 1999; pembunuhan diluar jalur hukum terhadap 35 warga sipil di simpang KKA, Aceh Utara pada bulan Mei 1999; dan pembunuhan di luar jalur hukum terhadap seorang ulama (Tgk. Bantaqiah) dan para pengikutnya di desa Blang Meurandeh, Beutong Ateuh, Aceh Barat pada bulan Juli 1999.
Selain itu kasus-kasus yang disebutkan di atas, masih ada kasus-kasus lain yang merupakan bagian dari peristiwa-peristiwa kekerasan yang berlangsung sehari-hari berdasarkan pemantauan Kontras antara Juli hingga Desember 1999 sebagai berikut: Antara 4 Juli 1999-25 Desember 1999 setidaknya ada 194 warga sipil yang menjadi korban kekerasan Aparat Keamanan, 22 diantaranya tewas dan 172 luka-luka ringan dan berat; Antara 19 Oktober-25 Desember 1999, setidaknya 290 korban pembunuhan misterius umunya dengan pola petrus (penembak misterius), menelan korban sebanyak: 239 sipil tewas dan 10 luka-luka dan sisanya sekitar 51 jiwa non-sipil; Antara 16 April 1999-25 Desember 1999, setidaknya 902 unit bangunan terbakar, terdiri dari Sekolah, kantor Camat dan gedung pemerintahan lainnya, dari sekian jumlah tersebut, sekitar 80 persen atau 132 unit adalah bangunan sekolah dan sekita 191 bangunan dibakar oleh aparat keamanan dalam operasi sweeping; Antara 5 Agustus-25 Desember 1999 setidaknya 128 orang (105 sipil dan sisanya militer) hilang diculik dan sebagian dari mereka ditemukan dalam keadaan tewas yang mengenaskan; 2001 bawah operasi Rajawali ada 1216 kasus pelanggaran HAM, operasi ini dilakukan untuk menemukan langkah komperhensif dalam menyelesaikan masalah Aceh berdasarkan Inpres No 4/2001 di tengah-tengah Jeda Kemanusiaan; 2003-2004 Darurat Militer I dan II ada 1.326 kasus pelanggaran HAM, Kegagalan perundingan damai antara RI dan GAM direspon dengan kebijakan darurat militer, masa ini penyelesaian HAM sejumlah anggota TNI rendah dihukum. Statusnya diturunkan menjadi Darurat Sipil sampai sekarang.
Sejak Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding Between the Goverment of the Republik of Indonesia and the Free Aceh Movement) tanggal 15 Agustus 2005 menjadi harapan baru bagi kebenaran dan adilan masyarakat atas tindak pelanggaran HAM, namun proses pengadilan terhadap pelanggaran tersebut hingga saat ini masih simpangsiur, sekalipun HAM telah mendapat perhatiaan sebagai tanggapan dari MoU Helsinki, Point 2.3 yang ditegaskan tentang pendirian Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh. Demikian juga dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yakni pada Pasal 229, 230, 259 dan Pasal 260 Namun kesimpulan sampai hari ini belum ada kasus pelanggaran HAM di Aceh yang dapat di ungkapkan secara terbuka. Harapan kita semua kebenaran dan keadilan dari palanggaran HAM tersebut dapat mengubah masa depan masyarakat Aceh, terutama bagi generasi yang dulu melihat ibunya diperkosa dan ayahnya dibunuh dengan nyata, paling tidak dengan pengusutan yang serius dapat menghapus rasa dendam dan benci yang mungkin tertaman dalam diri mereka.