Dosen IP UMM Soroti Pemindahan Ibu Kota Indonesia

Kamis, 27 Januari 2022 22:34 WIB   Program Studi Ilmu Pemerintahan

        

Achmad Apriyanto Romadhan saat diwawancara. (Foto: Istimewa)

       Setelah melalui perdebatan dan kontroversi yang sangat panjang akhirnya rencana pemindahan ibu kota Indonesia ke Kalimantan Timur tepatnya di dua wilayah yakni Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara memasuki babak baru. Selasa, 18 Januari UU Ibukota Negara (IKN) resmi disahkan oleh DPR. Dengan mengambil Nusantara sebagai nama ibukota tersebut, proyek ambisius ini tetap menyisakan banyak persoalan.

      Hal ini disoroti oleh dosen Ilmu Pemerintahan UMM Malang, Ach. Apriyanto, S.IP.,M.Si. Dosen kelahiran Pamekasan Jawa Timur yang juga saat ini menjabat sebagai sekretaris Prodi melihat banyak masalah dalam kebijakan ini. Pertama, proses pembahasan sampai pengesahan yang sangat cepat. “Jika dilihat UU ini merupakan UU tercepat sepanjang sejarah pembentukan UU di Indonesia. Masalahnya minim pelibatan partisipasi publik sehingga kurang demokratis. UU ini terkesan sangat dipaksakan sehingga suara publik tidak lagi didengar. Misalnya yang krusial soal ancaman krisis air bersih yang telah diingatkan berkali-kali oleh koalisi masyarakat sipil, “keluh Apriyanto.

        Kedua, proyek ratusan triliun ini hanya menguntungkan kepentingan elit politik dan bisnis. Ini bisa dilihat dari pemain-pemain besar yang menguasai lahan di IKN. “Coba perhatikan data yang dirilis oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) yang menunjukan terdapat 162 konsesi tambang, kehutanan, perkebunan sawit, dan PLTU batu bara di IKN. Dari data tersebut juga terlihat setidaknya ada lebih dari 50 nama politikus terkait dengan kepemilikan konsesi di lokasi IKN yang dekat bahkan duduk dalam kekuasaan. Ini juga diperkuat dari data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bahwa sebanyak 73.584 hektare konsesi tambang batu bara di wilayah IKN yang didalamnya ada 92 lubang bekas tambang. Ini terlihat seperti bagi-bagi proyek pembangunan saja, jelas mereka sangat diuntungkan karena salah satunya akan mendapatkan ganti rugi lahan/tanah yang sangat mahal, “tegas Apriyanto.    

         Ketiga, sensitiftas pada kepentingan publik yang rendah. “Saat ini ekonomi Indonesia sedang mengalami goncangan akibat Covid-19. Kenapa tidak anggaran sebanyak 466 triliun tidak untuk fokus pemulihan ekonomi dan bantuan sosial bagi masyarakat miskin. Ini belum lagi porsi pembiayaan IKN, 53, 5 % berasal dari APBN sedangkan 46, 5 % dari skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU), swasta dan BUMN. Beban APBN kita akan semakin berat yang sangat mungkin akan didapatkan dari utang. Proyek ini jelas hanya merupakan upaya Jokowi membangun hard legacy politik sebagai Bapak IKN. Namun waktunya yang tidak tepat dan proses penataanya yang masih bermasalah. Pemimpin yang baik itu harusnya tidak meninggalkan legacy berupa utang dan kerusakan lingkungan,” tutup Apriyanto.

Shared: